Ulasan Singkat Buku “Pasung Jiwa” Karya Okky Madasari
Entah filsuf mana yang merasuki salah satu kawan terdekatku. Setelah cukup lama tak bertemu, ia memberikanku buku: “Pasung Jiwa” karya Okky Madasari. Sejujurnya, aku jarang membaca buku (apalagi novel) karya penulis Indonesia. Aku lebih suka membaca buku-buku terjemahan. Namun buku ini seperti punya medan magnetis tersendiri. Ada semacam daya magis yang memaksaku untuk segera melahapnya.
Dengan narasi besar “Apa itu kebebasan?” yang terpampang di sampul depan — nuansa filsafat akan terasa dari halaman pertama. Ajaibnya, jawaban-jawaban (implisit) atas pertanyaan besar itu hadir dengan bahasa Vernakular (bahasa sehari-hari / diksi merakyat). Tentu ini menjadi poin plus bagi pembaca dan di sisi yang lain menunjukan kejeniusan penulisnya: Okky Madasari. Maksudku, buku ini mengangkat tema yang berat — bagaimana bisa dibawakan dengan ringan, jika bukan karena kejeniusan penulisnya?
“A book must be the axe for the frozen sea within us.” -Franz Kafka
Rasanya tak berlebihan, bila aku mengatakan bahwa buku “Pasung Jiwa” sudah menjelma sebagai kapak yang memecah lautan beku. Lautan beku di sini, merujuk pada tembok-tembok tinggi yang merepresentasikan ke-tabu-an budaya timur. Okky Madasari benar-benar menjadi ibu dari Sasana/Sasa (tokoh utama): serupa dokter bedah menguliti fakta sosial dengan tajam.
Kesialan-kesialan realitas yang di alami oleh Sasana, Cak Jek, Cak Man, Marsini, Marjinal, Memed dan Leman, Elis dan Kalina memanglah nyata ada di sekitar kita.
Kebangsatan stigma itu muncul lalu menggeliat di dalam di buku ini — menggambarkan hiruk-pikuk negeri ini sebelum dan setelah Reformasi (mungkin sampai sekarang): stigma buruk kepada waria, orang-orang dengan gangguan jiwa, orang-orang yang termarginalkan, hingga tuduhan-tuduhan usang berlabel PKI. Tak lupa borok-borok lain seperti hukum yang tumpul, kesuraman orang miskin harta dan kuasa, buruh yang terjebak di lingkaran setan, bajingan yang mengaku beragama, militer yang lebih banyak menggunakan otot ketimbang otaknya, pengayom yang tak mengayomi, PSK yang diperlakukan seperti kecoak, kungkungan tradisi dan budaya yang nonsens dan lain sebagainya.
Aib-aib sosial yang sudah ditutup rapat di angkat dengan frontal dan cantik di buku “Pasung Jiwa”. Romantika Sasana (Sasa) dan Cak Jek (Jaka Wani) juga mengingatkanku pada kisah dua penyair besar Prancis: Arthur Rimbaud dan Paul Verlaine. Ya, mereka ber-empat sama-sama gila (dalam konotasi positif). Seperti dua sejoli yang menolak waras — atau mungkin tepatnya menolak ditindas — di dunia yang memang sejak awal tak pernah masuk akal.
Nuansa pemberontakan atas keabsurdan dunia juga kental sekali di buku ini. Frasa-frasa manusia dikutuk untuk menjadi bebas, pun sama kuatnya dengan karakter-karakter di novel yang memenangkan “Khatulistiwa Award 2012” ini.
Dan entah berapa kali aku menemukan arwah Albert Camus, Jean-Paul Sartre, Franz Kafka, Friedrich Nietzsche, Søren Kierkegaard hingga César Vallejo bergentayangan di dalam buku setebal 321 halaman ini. Sosok Si Jaka yang di sisa hidupnya memilih nyemplung ke agama — juga secara tak langsung menggambarkan krisis eksistensial: Leap of Faith. Lalu diakhiri dengan ending yang menenangkan hati pembaca: Cak Jek mengajak Sasana untuk kabur dari penjara (setelah sebelumnya Sasana dijebloskan ke hotel prodeo oleh Cak Jek dan laskarnya)
Ah rasanya, kini, aku mulai kehabisan bahasa. Terima kasih Okky Madasari — yang telah menulis buku gurih nan lezat ini. Terima kasih Rizaldy Ruben — yang telah memberiku buku ini. Akhir kata, semoga semua makhluk berbahagia!